Rabu, Juli 01, 2009

Rumah Kabut


Oleh Sapardi Djoko Damono

: fit2

Kita menuruni jalan dan masuk
ke kafe ini. Gerah. Dua gelas, dua potong
kue - dan (gila!) sebuah rumah yang pelahan
muncul di lereng bukit. Kabut.

Ada yang hilang-tampak di langit-langit
ruangan ini. Kupotong selembar kabut,
kubungkus rumah itu, sia-sia.
Gunting lagi lebih lebar, kabut yang lebih tebal. Demikianlah.

Rumah pun kita bungkus dengan selembar kabut tebal
yang hati-hati menuruni bukit:
bayang-bayangnya di langit-langit kafe ini.
Aku ingin masuk ke dalamnya. Aku? Sylvia!
Batu, Bangkai Curut, Selokan: Suatu Sore

/1/
Kau tak jadi meludah ke selokan ketika kaulihat dekat batu ada bangkai curut yang kemarin kautendang dari tengah jalan ke situ. Lalat tampak berkerumun, sesekali hinggap di batu yang entah sejak kapan kaulihat ada tepat di tengah saluran air itu. Kalau nanti hujan turun air akan menyeret bangkai itu, meskipun tinggal sisa. Kau tahu pasti batu tidak akan terbawa ke mana-mana dan ikhlas menunggumu lewat setiap hari menyaksikanmu meludah setelah terdengar batuk-batuk sambil sesekali mengucapkan beberapa kata atau gumam atau engahan atau apa. Kau tahu pasti ia mendengar semuanya, mendengarkan semuanya, moga-moga ia tak pernah memahami maknanya, katamu kepadaku di sore hari yang menyisakan beberapa ekor burung berjajar di kabel listrik dan cahaya kemerahan yang berusaha bertahan di beberapa bubungan rumah. Moga-moga bangkai curut itu tidak mengganggumu, katamu - tentunya kepada batu itu.

/2/
Tidak akan ada yang mengusut hubungan antara bangkai curut, batu, dan batukmu. Tak juga akan ada yang peduli bahwa kau tidak jadi meludah ke selokan ketika melihat ada bangkai itu dekat batu. Selokan tahu kaulah yang iseng menyepak batu itu masuk ke dalamnya pada suatu hari, dan kau pula yang menendang bangkai curut sehingga sedikit menindihnya. Itu pun bukan siasat si bangkai curut agar merasa ada tempat bersandar sebelum ia sempurna tiada. Ia tak boleh iri pada batu yang tak akan terbawa air selokan kalau nanti penghujan tiba. Aku tertawa kecil, moga-moga kau tak mendengarnya. Aku harap kau memahami kenapa aku tak jadi meludah tadi, katamu sambil memandang tajam padaku - tetapi lebih kepada dirimu sendiri.

/3/
Kita melangkah pelan di jalan kompleks yang bermuara di sebuah lapangan bola. Tak terdengar lagi teriakan anak-anak itu.

Tidak ada komentar: