Senin, Juli 27, 2009

Pada Suatu Hari Nanti

Oleh Sapardi Djoko Damono


pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati

pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari

Seperti Kabut

Oleh Sapardi Djoko Damono

aku akan menyayangimu
seperti kabut
yang raib di cahaya matahari
:
aku akan menjelma awan
hati-hati mendaki bukit
agar bisa menghujanimu
:
pada suatu hari baik nanti.

-dari buku KOLAM, 2009-

Belimbing Wuluh

Oleh Sapardi Djoko Damono

Sore itu kita berpapasan dengan pohon belimbing wuluh
yang kita tanam di halaman rumah kita beberapa tahun yang
lalu, ia sedang berjalan-jalan sendirian di trotoar. Jangan kausapa, nanti ia bangun dari tidurnya.

Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya
di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik., juga karena
konon ia tidak disukai rumput di sekitarnya yang bosan
menerima buahnya berjatuhan dan membusuk karena kau
jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem?

Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa
Belimbing wuluh; Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami
adalah kenapa kau melarangku menyapa pohon itu ketika
ia berpapasan dengan kita di jalan. Yang tak akan mungkin
bisa kupahami adalah kenapa kau tega membiarkan pohon
belimbing wuluh itu berjalan dalam tidur?

Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi Tua juga akhirnya?

-dari buku KOLAM, 2009-

Jumat, Juli 24, 2009

Yang Selalu Terapung di Atas Gelombang

Oleh Taufik Ismail

Seseorang dianggap tak bersalah,
sampai dia dibuktikan hukum bersalah.
Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah.
Kini simaklah sebuah kisah,

Seorang pegawai tinggi,
gajinya sebulan satu setengah juta rupiah,
Di garasinya ada Honda metalik,Volvo hitam,
BMW abu-abu, Porsche biru dan Mercedes merah.
Anaknya sekolah di Leiden, Montpelier dan Savannah.
Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan
Macam Macam Indah,
Setiap semester ganjil,
isteri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura.
Setiap semester genap,
isteri gelap liburan di Eropa dan Afrika,

Anak-anaknya pegang dua pabrik,
tiga apotik dan empat biro jasa.
Saudara sepupu dan kemenakannya
punya lima toko onderdil,
enam biro iklan dan tujuh pusat belanja,
Ketika rupiah anjlok terperosok,
kepleset macet dan hancur jadi bubur,
dia ketawa terbahak- bahak
karena depositonya dalam dolar Amerika semua.
Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit barat,
jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat,

Krisis makin menjadi-jadi, di mana-mana orang antri,
maka seratus kantong plastik hitam dia bagi-bagi.
Isinya masing-masing lima genggam beras,
empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkus mi cepat-jadi.
Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi,
dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali,

Gelombang mau datang, datanglah gelombang,
setiap air bah pasang dia senantiasa
terapung di atas banjir bandang.
Banyak orang tenggelam tak mampu timbul lagi,
lalu dia berkata begini,
"Yah, masing-masing kita rejekinya kan sendiri-sendiri,"

Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlah:
kekayaan misterius mau diperiksa,
kekayaan tidak jadi diperiksa,
kekayaan mau diperiksa,
kekayaan tidak diperiksa,
kekayaan harus diperiksa,
kekayaan tidak jadi diperiksa.
Bandul jam tua Westminster,
tahun empat puluh satu diproduksi,
capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri,

Kemudian ide baru datang lagi,
isi formulir harta benda sendiri,
harus terus terang tapi,
dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi,
karena ini soal sangat pribadi,
Selepas itu suasana hening sepi lagi,
cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali,
Seseorang dianggap tak bersalah,
sampai dia dibuktikan hukum bersalah.

Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah.
Bagaimana membuktikan bersalah,
kalau kulit tak dapat dijamah.
Menyentuh tak bisa dari jauh,
memegang tak dapat dari dekat,

Karena ilmu kiat,
orde datang dan orde berangkat,
dia akan tetap saja selamat,
Kini lihat,
di patio rumahnya dengan arsitektur Mediterania,
seraya menghirup teh nasgitel
dia duduk menerima telepon
dari isterinya yang sedang tur di Venezia,
sesudah menilai tiga proposal,
dua diskusi panel dan sebuah rencana rapat kerja,

Sementara itu disimaknya lagu favorit My Way,
senandung lama Frank Sinatra
yang kemarin baru meninggal dunia,
ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta
dari sangkar tergantung di atas sana
dan tak habis-habisnya
di layar kaca jinggel bola Piala Dunia,

Go, go, go, ale ale ale...

Kamis, Juli 16, 2009

Lagu Biasa

Oleh Chairil Anwar

Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudera jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
………..
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
Ketika orkes memulai Ave Maria
Kuseret ia ke sana…….

Mirat Muda, Chairil Muda

Oleh Chairil Anwar

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya
Coba memisah matanya menantang
Yang satu tajam dan jujur yang sebelah
Ketawa diadukannya giginya pada
Mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah
Kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahukah di kini, bisa katakan
Dan tunjukkan dengan pasti di mana
Menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-jiwa saling berganti. Dia
Rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
Menuntut tinggi tidak setapak berjarak
Dengan mati.

Sajak Putih

Oleh Chairil Anwar

Buat tunanganku Mirat

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagimu menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah……
Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri
Dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
Kecuplah aku terus, kecuplah
Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku…

Rabu, Juli 15, 2009

Senja di Pelabuhan Kecil

Oleh Chairil Anwar

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih engap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

Kabar Dari Laut

Oleh Chairil Anwar

Aku memang benar tolol ketika itu,
Mau pula membikin hubungan dengan kau;
Lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu,
Berujuk kembali dengan tujuan biru.

Di tubuhku ada luka sekarang,
bertambah lebar juga, mengeluar darah,
dibekas dulu kau cium napsu dan garang;
lagi akupun sangat lemah serta menyerah.

Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi.
Pembatasan Cuma tambah menjatuhkan kenang.
Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang.

Dan kau?
Apakah kerjamu sembahyang dan memuji,
Atau di antara mereka juga terdampar,
Burung mati pagi hari di sisi sangkar?

Tak Sepadan

Oleh Chairil Anwar

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.

Dikutuk sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu pun juga pintu terbuka.

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.

Pebruari 1943

Minggu, Juli 12, 2009

Mantera

Oleh Asrul Sani

Raja dari batu hitam,
di balik rimba kelam,
Naga malam,
mari kemari!
Aku laksamana dari lautan menghantam malam hari
Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,
Aku jadikan belantara, jadi hutan mati
Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa
Budak-budak tidur di pangkuan bunda
Siapa kenal daku, aku kenal bahagia
tiada takut pada pitam,
tiada takut pada kelam
pitam dan kelam punya aku

Raja dari batu hitam,
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari kemari!
Jaga segala gadis berhias diri,
Biar mereka pesta dan menari
Meningkah rebana
Aku akan menyanyi,
Engkau berjaga dari padam api timbul api.
Mereka akan terima cintaku
Siapa bercinta dengan daku,
Akan bercinta dengan tiada akhir hari

Raja dari batu hitam
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari kemari
Mari kemari,
Mari!

Rabu, Juli 08, 2009

Di Muka Jendela

Oleh Goenawan Muhammad

Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu mengigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh:- Datanglah!

Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari tanah padang-padang yang tengadah
tanah padang-padang terukur
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
Tidakkah siapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sejak bisu abadi,
dalam kristal kata
dalam pesona?

1961

Selasa, Juli 07, 2009

Terima kasih


Cuma mau mengucapkan terima kasih untuk Bung Willyo di http://blekenyek.blogspot.com/
atas awardnya.

Biarlah awardnya saya persembahkan buat semua teman yang mampir ke blog ini dan ikut membaca. Karena bagi saya, semua teman-teman blogger sangat berarti dan saya hormati.
Silakan diambil .

Buat Bung Willyo, sekali lagi terima kasih banyak ya.

Karena Laut, Sungai Lupa Jalan Pulang


Oleh Saut Situmorang

di kota kecil itu
gerimis turun dan kita basah oleh senyum dan tatapan tatapan curian yang tiba tiba mekar jadi ciuman ciuman
panjang...

karena laut, sungai lupa jalan pulang
dan batu batu hitam
daun daun gugur
danau kecil di lembah jauh
jadi sunyi
kehilangan suara jangkrik suara burung

gerimis yang turun
mengikuti terus di jalan jalan gunung pasar hiruk pikuk bis antar kota pertunjukan pertunjukan malam yang
membosankan sampai botol botol bir kosong tempat lampu neon berdustaan dengan bau tembakau

karena laut, sungai lupa jalan pulang
dan di meja-warung basah oleh gerimis
sebuah sajak setengah jadi
mengabur di kertas tissue yang tipis

One Day Later


by Sapardi Djoko Damono

One day later
My body will die
But in the distich of this poem
I wouldn’t acquiesce you alone

One day later
My voice wouldn’t be heard again
Yet among rows of this poem
I will steadfast investigate you

One day later
My vision will be unrecognized again
Yet, in the letter cracks of this poem
I’ll look for you forever

Sabtu, Juli 04, 2009

Kisah


Oleh Sapardi Djoko Damono

Kau pergi, sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang tercetak di plat alumunium itu. Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka tak pernah melihatmu lagi.

Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi.
Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring.
Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.

Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

Rabu, Juli 01, 2009

Merindu


Malam ini
bulan urung datang
dan aku membujuk malam agar tak terlalu panjang

Tak bisakah pungguk itu berhenti menyeru
namamu yang sejak kemarin
sengaja kuhapus dulu

kamu;
aku;
betapa jarak terentang
dan kamu adalah arca beku yang tak tahu malu
membiarkan aku merindu

-Garut, Juli 2009-

Rumah Kabut


Oleh Sapardi Djoko Damono

: fit2

Kita menuruni jalan dan masuk
ke kafe ini. Gerah. Dua gelas, dua potong
kue - dan (gila!) sebuah rumah yang pelahan
muncul di lereng bukit. Kabut.

Ada yang hilang-tampak di langit-langit
ruangan ini. Kupotong selembar kabut,
kubungkus rumah itu, sia-sia.
Gunting lagi lebih lebar, kabut yang lebih tebal. Demikianlah.

Rumah pun kita bungkus dengan selembar kabut tebal
yang hati-hati menuruni bukit:
bayang-bayangnya di langit-langit kafe ini.
Aku ingin masuk ke dalamnya. Aku? Sylvia!
Batu, Bangkai Curut, Selokan: Suatu Sore

/1/
Kau tak jadi meludah ke selokan ketika kaulihat dekat batu ada bangkai curut yang kemarin kautendang dari tengah jalan ke situ. Lalat tampak berkerumun, sesekali hinggap di batu yang entah sejak kapan kaulihat ada tepat di tengah saluran air itu. Kalau nanti hujan turun air akan menyeret bangkai itu, meskipun tinggal sisa. Kau tahu pasti batu tidak akan terbawa ke mana-mana dan ikhlas menunggumu lewat setiap hari menyaksikanmu meludah setelah terdengar batuk-batuk sambil sesekali mengucapkan beberapa kata atau gumam atau engahan atau apa. Kau tahu pasti ia mendengar semuanya, mendengarkan semuanya, moga-moga ia tak pernah memahami maknanya, katamu kepadaku di sore hari yang menyisakan beberapa ekor burung berjajar di kabel listrik dan cahaya kemerahan yang berusaha bertahan di beberapa bubungan rumah. Moga-moga bangkai curut itu tidak mengganggumu, katamu - tentunya kepada batu itu.

/2/
Tidak akan ada yang mengusut hubungan antara bangkai curut, batu, dan batukmu. Tak juga akan ada yang peduli bahwa kau tidak jadi meludah ke selokan ketika melihat ada bangkai itu dekat batu. Selokan tahu kaulah yang iseng menyepak batu itu masuk ke dalamnya pada suatu hari, dan kau pula yang menendang bangkai curut sehingga sedikit menindihnya. Itu pun bukan siasat si bangkai curut agar merasa ada tempat bersandar sebelum ia sempurna tiada. Ia tak boleh iri pada batu yang tak akan terbawa air selokan kalau nanti penghujan tiba. Aku tertawa kecil, moga-moga kau tak mendengarnya. Aku harap kau memahami kenapa aku tak jadi meludah tadi, katamu sambil memandang tajam padaku - tetapi lebih kepada dirimu sendiri.

/3/
Kita melangkah pelan di jalan kompleks yang bermuara di sebuah lapangan bola. Tak terdengar lagi teriakan anak-anak itu.

Membebaskan Hujan


Oleh Sapardi Djoko Damono

ada yang ingin menjaring hujan
dengan pepatah-petitih tua
yang tak lekang meski basah -
hujan buru-buru menghapusnya

ada yang ingin mengurung hujan
dalam sebuah alinea panjang
yang tak kacau meski kuyup -
hujan malah sibuk menyuntingnya

ada yang ingin membebaskan hujan
dengan telapak tangan
yang jari-jarinya bergerak gemas -
hujan pun tersirap: air mata