Sabtu, Oktober 22, 2011

Sajak Desember

Oleh Sapardi Djoko Damono

Kutanggalkan mantel serta topiku yang tua
Ketika daun penanggalan gugur
Lewat tengah malam…

Kemudian kuhitung
Hutang-hutangku pada-Mu…

Mendadak terasa: betapa miskinnya diriku;
di luar hujan pun masih kudengar…
dari celah-celah jendela…

Ada yang terbaring di kursi… letih sekali…

Masih patutkah kuhitung segala milikku…
Selembar celana dan selembar baju…
Ketika kusebut berulang nama-Mu;

taram temaram bayang, bianglala itu…


-1961-

pict from here


Jumat, September 16, 2011

Ah, Are You Digging on My Grave?

by Thomas Hardy (1840-1928)


"Ah, are you digging on my grave,
My loved one? -- planting rue?"
-- "No: yesterday he went to wed
One of the brightest wealth has bred.
'It cannot hurt her now,' he said,
'That I should not be true.'"

"Then who is digging on my grave,
My nearest dearest kin?"
-- "Ah, no: they sit and think, 'What use!
What good will planting flowers produce?
No tendance of her mound can loose
Her spirit from Death's gin.'"

"But someone digs upon my grave?
My enemy? -- prodding sly?"
-- "Nay: when she heard you had passed the Gate
That shuts on all flesh soon or late,
She thought you no more worth her hate,
And cares not where you lie.

"Then, who is digging on my grave?
Say -- since I have not guessed!"
-- "O it is I, my mistress dear,
Your little dog , who still lives near,
And much I hope my movements here
Have not disturbed your rest?"

"Ah yes! You dig upon my grave...
Why flashed it not to me
That one true heart was left behind!
What feeling do we ever find
To equal among human kind
A dog's fidelity!"

"Mistress, I dug upon your grave
To bury a bone, in case
I should be hungry near this spot
When passing on my daily trot.
I am sorry, but I quite forgot
It was your resting place."

Senin, September 12, 2011

Entah Sejak Kapan

Oleh Sapardi Djoko Damono


Entah sejak kapan kita suka gugup

Di antara frasa-frasa pongah

Di kain rentang yang berlubang-lubang

Sepanjang jalan raya itu; kita berhimpitan

Di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak

Di kain rentang yang ditiup angin,

Yang diikat di antara batang pohon

Dan tiang listrik itu; kita tergencet di sela-sela

Huruf-huruf kaku yang tindih-menindih

Di kain rentang yang berjuntai di perempatan jalan

Yang tanpa lampu lalu-lintas itu. Telah sejak lama

Rupanya kita suka membayangkan diri kita

Menjelma kain rentang koyak-moyak itu, sebisanya

Bertahan terhadap hujan, angin, panas, dan dingin

Minggu, Juli 31, 2011

To Sadness

by Pablo Neruda


Sadness, I need
your black wing,
so much sun, so much honey in the topaz,
each ray smiles
in the meadow
and everything is round light on all sides of me,
everything is an electric bee in the heights.
And so
give me
your black wing,
sister sadness:
I need the sapphire to be
extinguished sometimes and the oblique
mesh of the rain to fall,
the weeping of the earth:
I want
that shattered beam in the estuary,
the vast house in darkness,
and my mother
searching
for paraffin
and filling the lamp
until it gave not light but a sigh.

The night wasn't born.

The day was sliding
toward its provincial graveyard,
and between the bread and the shadow
I remember
myself
in the window
looking out at what didn't exist,
what wasn't happening,
and a black wing of water that came
over that heart which there perhaps
I forgot forever, in the window.

Now I miss
the black light.

Give me your slow blood,
cold
rain,
give me your astonished flight!
Give me back
the key
of the door that was shut,
destroyed.
For a moment, for
a short lifetime,
take the light from me and let me
feel myself
lost and miserable,
trembling among the threads
of twilight,
receiving into my soul
the trembling
hands
of
the
rain.

Translated by Stephen Mitchell

Selasa, Juli 26, 2011

Di Tepi Hutan Suranadi

Oleh IB Sindu Putra

Bintang! Siapa takut percintaan
Kau dan aku tak bisa sembunyi
Dari hutan ini
Kita diringkus
Beringsut atau berkelit
Jejak dan bayang kita
Menghunjam di tanah
sawah seluas tapak tangan
Bayangkan
Mata lele itu seolah bulan sabit
dari tempat matahari terbit
jangan pejamkan!
Suara seekor kera
Menunjuk ke tiang mata air
Dan oleh gigir aura auratku
seekor kuda menggigil
Seekor kuda bermata kunang-kunang
hendak melubangi setiap sawah
Dengan sebelas taring sayapnya
Bau mulut, daki lengan, peluh paha
Hingga garis telapak kakinya
Mempersingkan aku, kau
Ke bulan sabit
Ke matahari terbit
Bintang, siapa takut percintaan
Kau dan aku diringkus


source: here

Rabu, Juli 06, 2011

Dengan Mirat

Oleh Chairil Anwar

Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas

Aku dan engkau hanya menjengkau
rakit hitam

‘Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?

Matamu ungu membatu

Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu

1946

Wislawa

Oleh Oka Rusmini


Kukenal perempuan tua dengan senyum pahit dan rambut blonde kering.

Dia hidup dengan dua laki-laki yang disimpan dalam ketiak penuh parfum.

Dia pandai merajut huruf dengan keliaran yang dipahatkan di sudut bumi.

Bau tanah, bau otak, dan rasa lapar wujud perempuannya muncrat. Dia bicara dengan segaris senyum pahit, tak terbaca. orang-orang merasa menyentuhnya (mungkin: melumat).

Aku sering memandang matanya. Sebuah anak sungai kecil, yang membunuh aliran darah laut.

Kukenal perempuan tua dengan bunga rumput di dada tipisnya. Tersenyum dengan mata sipit mengajakku bertaruh. Dia maui wujudku. Rasa lapar dan segenggam kegilaan.

”Cangkul otakmu. Kusemaikan bibit bunga rumput di setiap helai rambutmu. Perkawinan? Sebuah permainan penuh busa bir. Teguk, pecahkan buihnya. Jangan sentuh tubuhnya, tidurkan dia di kakimu. Aku pandai merajut helai kehidupan, diambang usiaku: kutelan masa kanak- kanakku. Para lelaki, kulecut di dada sambil meminang cairn dengan darah. Memisahkan tubuhku. Hanya tiga detik. Kau ikut? Berpesta sambil merajam tubuh.”

Kukenal perempuan tua dengan garis pucat di dahi. sering sekali dia datang, membakar daging, meremas tulang, jantung. Pelan-pelan: kumuntahkan anak-anak.

Oase, 1999

Minggu, Juni 05, 2011

Dalam Doaku

Oleh Sapardi Djoko Damono



Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara…

Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana…

Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu…

Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku…

Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku…

Aku mencintaimu…
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu…



-Kumpulan Sajak "Hujan Bulan Juni", 1989-

Pada Suatu Pagi Hari

Oleh Sapardi Djoko Damono



Maka pada suatu pagi hari

ia ingin sekali menangis

sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu…

Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik

dan lorong sepi…

agar ia bisa berjalan sendiri saja

sambil menangis dan tak ada orang bertanya

kenapa…

Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk

memecahkan cermin membakar tempat tidur…

Ia hanya ingin menangis lirih saja

sambil berjalan sendiri

dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.


-1973-

Sabtu, April 02, 2011

Di Restoran

oleh Sapardi Djoko Damono

Kita berdua saja, duduk. Aku memesan
ilalang panjang dan bunga rumput --
kau entah memesan apa. Aku memesan
batu di tengah sungai terjal yang deras --

kau entah memesan apa. Tapi kita berdua
saja, duduk. Aku memesan rasa sakit
yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.


AT THE RESTAURANT

It was just the two of us, sitting. I ordered
waving grasses and wild flowers --
I don't know what you ordered. I ordered
stones on a bed of swirling rapids --

I don't know what you ordered. But it was just the two of us,
sitting. I ordered
pitiless and piercing pain
then ordered, as well, that alien hunger

[1989]

Hujan, Jalak dan Daun Jambu

Oleh Sapardi Djoko Damono

Hujan turun semalaman. Paginya jalak berkicau dan daun jambu bersemi;
Mereka tidak mengenal gurindam dan peribahasa, tapi menghayati adat kita yang purba
Tahu kapan harus berbuat sesuatu, agar kita manusia, merasa bahagia.
Mereka tidak pernah bisa menguraikan hakikat kata-kata mutiara,
Tapi tahu kapan harus berbuat sesuatu, agar kita merasa tidak sepenuhnya sia-sia

Sajak Desember

Oleh Sapardi Djoko Damono

kutanggalkan mantel serta topiku yang tua
ketika daun penanggalan gugur
lewat tengah malam. kemudian kuhitung
hutang-hutangku pada-Mu

mendadak terasa: betapa miskinnya diriku;
di luar hujan pun masih kudengar
dari celah-celah jendela. ada yang terbaring
di kursi letih sekali

masih patutkah kuhitung segala milikku
selembar celana dan selembar baju
ketika kusebut berulang nama-Mu; taram
temaram bayang, bianglala itu

1961

Batu

oleh Sutardji Calzoum Bachri

batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?

Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu
beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa
gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang
lambai tak sampai. Kau tahu?

batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati
janji?

Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco

Oleh Sapardi Djoko Damono

kabut yang likang
dan kabut yang pupuh
lekat dan gerimis pada tiang-tiang jembatan
matahari menggeliat dan kembali gugur
tak lagi di langit berpusing
di perih lautan

Rabu, Januari 26, 2011

A Dog Has Died




My dog has died.
I buried him in the garden
next to a rusted old machine.

Some day I'll join him right there,
but now he's gone with his shaggy coat,
his bad manners and his cold nose,
and I, the materialist, who never believed
in any promised heaven in the sky
for any human being,
I believe in a heaven I'll never enter.
Yes, I believe in a heaven for all dogdom
where my dog waits for my arrival
waving his fan-like tail in friendship.

Ai, I'll not speak of sadness here on earth,
of having lost a companion
who was never servile.
His friendship for me, like that of a porcupine
withholding its authority,
was the friendship of a star, aloof,
with no more intimacy than was called for,
with no exaggerations:
he never climbed all over my clothes
filling me full of his hair or his mange,
he never rubbed up against my knee
like other dogs obsessed with sex.

No, my dog used to gaze at me,
paying me the attention I need,
the attention required
to make a vain person like me understand
that, being a dog, he was wasting time,
but, with those eyes so much purer than mine,
he'd keep on gazing at me
with a look that reserved for me alone
all his sweet and shaggy life,
always near me, never troubling me,
and asking nothing.

Ai, how many times have I envied his tail
as we walked together on the shores of the sea
in the lonely winter of Isla Negra
where the wintering birds filled the sky
and my hairy dog was jumping about
full of the voltage of the sea's movement:
my wandering dog, sniffing away
with his golden tail held high,
face to face with the ocean's spray.

Joyful, joyful, joyful,
as only dogs know how to be happy
with only the autonomy
of their shameless spirit.

There are no good-byes for my dog who has died,
and we don't now and never did lie to each other.

So now he's gone and I buried him,
and that's all there is to it.

...............

Ini puisi Pablo Neruda yang selalu bikin saya nangis ingat anjing saya di masa kecil, Doggie. Anjing yang sama baiknya seperti anjing Neruda, sahabat dan pengawal si kecil Enno yang bandel. Yang dengan setia duduk menunggu di bawah pohon tempat majikan kecilnya membaca buku sambil mengayun-ayunkan kaki di dahan pohon.

Doggie, I always miss you boy...