Jumat, Januari 06, 2012

Laki-laki yang Pekerjaannya Mengorek Tempat Sampah

Oleh Sapardi Djoko Damono

/1/
Ibuku masih perawan, begitu katanya selalu setiap kali kau menanyakan asal-usulnya. Lelaki itu tidak pernah menatap langit, tentu bukan karena ia tak tahu bahwa langit benar- benar ada di atas sana. Pemulung memang menelusuri tempat sampah demi tempat sampah dengan sebatang tongkat berkait yang membantunya memilah-milah jenis barang buangan, membantunya mengait kaleng kosong, plastik bekas, dan kadang-kadang bungkus makanan yang sudah kadaluwarsa tetapi yang mungkin isinya masih bisa dimakannya, atau diberikan kepada kucing-kucingnya yang di rumah menunggu setia. Suaminya konon ada lima, tanpa sanggama. Beberapa orang ibu di kompleks kita suka curiga padanya, beberapa yang lain suka memberikan barang bekas atau sisa makanan. Kau pernah bilang bahwa apa yang dikatakannya pertanda ada masalah dengan dirinya.

/2/
Tapi ibuku masih perawan, tanpa sanggama. Setiap kali kautanya kenapa selalu menunduk, ia hanya diam. Mungkin ingin dikatakannya bahwa di langit sana tidak ada tempat sampah yang sudah dianggapnya sebagai hakikat hidupnya, tidak ada yang bisa dikais-kais dan dikait dengan tongkat kesayangannya. Ia tak begitu suka bicara. Wajahnya yang tampan seperti wayang membuat ibu-ibu dan pembantu rumah tangga suka menggodanya dan ia merasa cukup menjawab dengan selamat pagi atau selamat sore atau hanya dengan senyum yang masih juga menyembunyikan jajaran gigi yang rapi di balik bibirnya. Kau pernah mencurigainya sebagai ksatria yang sedang menyamar untuk mencari kekasihnya. Aku tertawa – tapi mungkin benar juga. Please, jangan sekali-kali membayangkan dirimu sebagai putri yang mungkin sedang dicarinya itu, aku membayangkan suatu bencana seperti yang pernah kita baca dalam sebuah buku tua. Ksatria yang menyandang kantong besar di punggungnya itu selalu cepat-cepat lenyap di kelokan ketika sorot mata perempuan-perempuan itu dengan gemas mengikuti gerak- geriknya. Kenapa ia tak pernah mau tengadah ke Langit, rumah para Batara?

/3/
Kau ini bicara apa?

Sabtu, Oktober 22, 2011

Sajak Desember

Oleh Sapardi Djoko Damono

Kutanggalkan mantel serta topiku yang tua
Ketika daun penanggalan gugur
Lewat tengah malam…

Kemudian kuhitung
Hutang-hutangku pada-Mu…

Mendadak terasa: betapa miskinnya diriku;
di luar hujan pun masih kudengar…
dari celah-celah jendela…

Ada yang terbaring di kursi… letih sekali…

Masih patutkah kuhitung segala milikku…
Selembar celana dan selembar baju…
Ketika kusebut berulang nama-Mu;

taram temaram bayang, bianglala itu…


-1961-

pict from here


Jumat, September 16, 2011

Ah, Are You Digging on My Grave?

by Thomas Hardy (1840-1928)


"Ah, are you digging on my grave,
My loved one? -- planting rue?"
-- "No: yesterday he went to wed
One of the brightest wealth has bred.
'It cannot hurt her now,' he said,
'That I should not be true.'"

"Then who is digging on my grave,
My nearest dearest kin?"
-- "Ah, no: they sit and think, 'What use!
What good will planting flowers produce?
No tendance of her mound can loose
Her spirit from Death's gin.'"

"But someone digs upon my grave?
My enemy? -- prodding sly?"
-- "Nay: when she heard you had passed the Gate
That shuts on all flesh soon or late,
She thought you no more worth her hate,
And cares not where you lie.

"Then, who is digging on my grave?
Say -- since I have not guessed!"
-- "O it is I, my mistress dear,
Your little dog , who still lives near,
And much I hope my movements here
Have not disturbed your rest?"

"Ah yes! You dig upon my grave...
Why flashed it not to me
That one true heart was left behind!
What feeling do we ever find
To equal among human kind
A dog's fidelity!"

"Mistress, I dug upon your grave
To bury a bone, in case
I should be hungry near this spot
When passing on my daily trot.
I am sorry, but I quite forgot
It was your resting place."

Senin, September 12, 2011

Entah Sejak Kapan

Oleh Sapardi Djoko Damono


Entah sejak kapan kita suka gugup

Di antara frasa-frasa pongah

Di kain rentang yang berlubang-lubang

Sepanjang jalan raya itu; kita berhimpitan

Di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak

Di kain rentang yang ditiup angin,

Yang diikat di antara batang pohon

Dan tiang listrik itu; kita tergencet di sela-sela

Huruf-huruf kaku yang tindih-menindih

Di kain rentang yang berjuntai di perempatan jalan

Yang tanpa lampu lalu-lintas itu. Telah sejak lama

Rupanya kita suka membayangkan diri kita

Menjelma kain rentang koyak-moyak itu, sebisanya

Bertahan terhadap hujan, angin, panas, dan dingin

Minggu, Juli 31, 2011

To Sadness

by Pablo Neruda


Sadness, I need
your black wing,
so much sun, so much honey in the topaz,
each ray smiles
in the meadow
and everything is round light on all sides of me,
everything is an electric bee in the heights.
And so
give me
your black wing,
sister sadness:
I need the sapphire to be
extinguished sometimes and the oblique
mesh of the rain to fall,
the weeping of the earth:
I want
that shattered beam in the estuary,
the vast house in darkness,
and my mother
searching
for paraffin
and filling the lamp
until it gave not light but a sigh.

The night wasn't born.

The day was sliding
toward its provincial graveyard,
and between the bread and the shadow
I remember
myself
in the window
looking out at what didn't exist,
what wasn't happening,
and a black wing of water that came
over that heart which there perhaps
I forgot forever, in the window.

Now I miss
the black light.

Give me your slow blood,
cold
rain,
give me your astonished flight!
Give me back
the key
of the door that was shut,
destroyed.
For a moment, for
a short lifetime,
take the light from me and let me
feel myself
lost and miserable,
trembling among the threads
of twilight,
receiving into my soul
the trembling
hands
of
the
rain.

Translated by Stephen Mitchell

Selasa, Juli 26, 2011

Di Tepi Hutan Suranadi

Oleh IB Sindu Putra

Bintang! Siapa takut percintaan
Kau dan aku tak bisa sembunyi
Dari hutan ini
Kita diringkus
Beringsut atau berkelit
Jejak dan bayang kita
Menghunjam di tanah
sawah seluas tapak tangan
Bayangkan
Mata lele itu seolah bulan sabit
dari tempat matahari terbit
jangan pejamkan!
Suara seekor kera
Menunjuk ke tiang mata air
Dan oleh gigir aura auratku
seekor kuda menggigil
Seekor kuda bermata kunang-kunang
hendak melubangi setiap sawah
Dengan sebelas taring sayapnya
Bau mulut, daki lengan, peluh paha
Hingga garis telapak kakinya
Mempersingkan aku, kau
Ke bulan sabit
Ke matahari terbit
Bintang, siapa takut percintaan
Kau dan aku diringkus


source: here

Rabu, Juli 06, 2011

Dengan Mirat

Oleh Chairil Anwar

Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas

Aku dan engkau hanya menjengkau
rakit hitam

‘Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?

Matamu ungu membatu

Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu

1946