Oleh Sapardi Djoko Damono
/1/
Ibuku masih perawan, begitu katanya selalu setiap kali kau menanyakan asal-usulnya. Lelaki itu tidak pernah menatap langit, tentu bukan karena ia tak tahu bahwa langit benar- benar ada di atas sana. Pemulung memang menelusuri tempat sampah demi tempat sampah dengan sebatang tongkat berkait yang membantunya memilah-milah jenis barang buangan, membantunya mengait kaleng kosong, plastik bekas, dan kadang-kadang bungkus makanan yang sudah kadaluwarsa tetapi yang mungkin isinya masih bisa dimakannya, atau diberikan kepada kucing-kucingnya yang di rumah menunggu setia. Suaminya konon ada lima, tanpa sanggama. Beberapa orang ibu di kompleks kita suka curiga padanya, beberapa yang lain suka memberikan barang bekas atau sisa makanan. Kau pernah bilang bahwa apa yang dikatakannya pertanda ada masalah dengan dirinya.
/2/
Tapi ibuku masih perawan, tanpa sanggama. Setiap kali kautanya kenapa selalu menunduk, ia hanya diam. Mungkin ingin dikatakannya bahwa di langit sana tidak ada tempat sampah yang sudah dianggapnya sebagai hakikat hidupnya, tidak ada yang bisa dikais-kais dan dikait dengan tongkat kesayangannya. Ia tak begitu suka bicara. Wajahnya yang tampan seperti wayang membuat ibu-ibu dan pembantu rumah tangga suka menggodanya dan ia merasa cukup menjawab dengan selamat pagi atau selamat sore atau hanya dengan senyum yang masih juga menyembunyikan jajaran gigi yang rapi di balik bibirnya. Kau pernah mencurigainya sebagai ksatria yang sedang menyamar untuk mencari kekasihnya. Aku tertawa – tapi mungkin benar juga. Please, jangan sekali-kali membayangkan dirimu sebagai putri yang mungkin sedang dicarinya itu, aku membayangkan suatu bencana seperti yang pernah kita baca dalam sebuah buku tua. Ksatria yang menyandang kantong besar di punggungnya itu selalu cepat-cepat lenyap di kelokan ketika sorot mata perempuan-perempuan itu dengan gemas mengikuti gerak- geriknya. Kenapa ia tak pernah mau tengadah ke Langit, rumah para Batara?
/3/
Kau ini bicara apa?