Sabtu, Oktober 09, 2010
Perempuan Itu Menggerus Garam
Oleh Goenawan Mohamad
Perempuan itu menggerus garam pada cobek
di sudut dapur yang kekal.
“Aku akan menciptakan harapan,” katanya, “pada batu hitam.”
Asap tidak pernah singkat. Bubungan seperti warna dunia
dalam mimpi Yeremiah
Ia sendiri melamunkan ikan, yang berenang di akuarium,
seperti balon-balon malas yang tak menyadari warnanya,
ungkapannya, di angkasa. “Merekalah yang bermimpi,”
katanya dalam hati.
Tapi ia sendiri bermimpi. Ia memimpikan busut-busut terigu, yang
turun, seperti hujan menggerutu. Di sebuah ladang. Enam
orang berlari seakan ketakutan akan matahari.
“Itu semua anakku,” katanya. “Semua anakku.”
Ia tidak tahu ke mana mereka pergi, karena sejak itu tidak ada
yang pulang. Si bungsu, dari sebuah kota di Rusia, tak pernah
menulis surat. Si sulung hilang. Empat saudara kandungnya
hanya pernah mengirimkan sebuah kalimat,
“Mak, kami hanya pengkhianat.”
Barangkali masih ada seorang gadis, di sajadah yang jauh,
(atau mungkin mimpi itu hanya kembali,)
yang tak mengenalnya. Ia sering berpesan dengan
bahasa diam asap pabrik. Ia tak berani tahu siapa dia,
ia tidak berani tahu.
Perempuan itu hanya menggerus garam pada cobek
di sudut dapur yang kekal.
1995
Sabtu, Oktober 02, 2010
Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi
Oleh Goenawan Mohamad
Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita
Di piano bernyanyi baris dari Rubayyat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba
Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada
1966
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita
Di piano bernyanyi baris dari Rubayyat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba
Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada
1966
Langganan:
Postingan (Atom)