Sebilah Pisau Dapur yang Kaubeli dari Penjaja
yang Setidaknya Seminggu Sekali Muncul
Berkeliling di Kompleks, yang Selalu Berjalan
Menunduk dan Hanya Sesekali Menawarkan
Dagangannya dengan Suara yang Kadang
Terdengar Kadang Tidak, yang Kalau Ditanya
Berapa Harganya Pasti Dikatakannya,
“Terserah Situ Saja…”
Oleh Sapardi Djoko Damono
/1/
takdir pun dimulai
di pintu pagar
sehabis kaubayar
kita perlu sebilah
pengganti si patah
kau telah memilih pisau
berasal dari rantau
matanya yang redup
tiba-tiba hidup
/2/
bahasanya tak kaukenal
tentu saja
tapi dengan cermat
dipelajarinya bahasamu
yang berurusan
dengan mengiris
dan menyayat
yang tak lepas dari tata cara
meletakkan sayur berjajar
di talenan untuk dirajang
sebelum dimasukkan
ke panci yang mendidih airnya
dan dengan cepat
dikuasainya bahasamu
yang memiliki kosa kata lengkap
untuk mengurus bangkai ayam
membersihkan usus
memotong-motongnya
dan merajang hatinya
/3/
ia tulus dan ikhlas belajar
menerima kehadirannya
di antara barang-barang
yang telungkup
yang telentang
yang bergelantungan
yang kotor
yang retak
yang bau sabun
yang berminyak
di seantero dapur
/4/
segumpal daging merah
sedikit darah
di meja dapur
di sebelah cabe
berhimpit dengan bawang
yang menyebabkan
matanya berlinang
teringat akan mangga
yang tempo hari dikupasnya
teringat akan apel
yang kemarin dibelahnya
di meja makan
/5/
kau sangat hati-hati
memperlakukannya
waswas akan tatapannya
sangat sopan menghadapinya
meski kau yakin
seyakin-yakinnya
ia bukan keris pusaka
kau sangat hati-hati
setiap kali menaruhnya
di pinggir tempat cuci piring
takut melukai matanya
/6/
kau merasa punya tugas
untuk teratur mengasahnya
dinantinya saat-saat
yang selalu menimbulkan
rasa bahagia itu
inderanya jadi lebih jernih
jadi lebih awas
jadi lebih tegas
memilah yang manis
dari yang pedas
meraba yang lunak
di antara yang keras
/7/
apa gerangan yang dibisikkannya
kepada batu pengasah itu
/8/
ia suka berkejap-kejap
padaku, kata cucumu
kau buru-buru menyeretnya
menjauh dari dapur
yang tiba-tiba terasa gerah
/9/
ia kenal hanya selarik doa
yang selalu kauucapkan
sebelum memotong ikan
yang masih berkelejotan
kalau tanganmu gemetar
memegang tangkainya
ia pejamkan mata
mengucapkan doa
/10/
kenangannya pada api
yang dulu melahirkannya
menyusut ketika tatapannya
semakin tajam
oleh batu asah
kenangannya pada landasan
dan palu yang dulu menempanya
kenangannya pada jari-jari kasar
yang pertama kali mengelusnya
kenangannya
pada kata pertama
si pandai besi
ketika lelaki itu
melemparkannya ke air
yang mengeluarkan suara aneh
begitu tubuhnya
yang masih membara
tenggelam dan mendingin
kenangannya pada benda-benda
yang telah melahirkannya
semakin redup
ketika saat ini ia merasa
sepenuhnya tajam
seutuhnya hidup
/11/
dua sisi matanya
tak pernah terpejam
sebelah menatapmu
sebelah berkedip padaku
jangan pernah tanyakan
makna tatapan
yang melepaskan isyarat
seperti bintik-bintik cahaya
yang timbul-tenggelam
di sela-sela gema
di sela-sela larik-larik
Kitab yang menjanjikan
sorga bagi kita
/12/
ujungnya menunjuk ke Sana?
diam-diam terucap
pertanyaanmu itu
menjelang subuh
:
matanya tampak berlinang
dari sudut-sudutnya muncul
gelembung-gelembung darah
satu demi satu pecah
:
satu demi satu pecah
:
satu demi satu pecah
:
lantunan azan
............
Catatan: Judul puisi ini adalah alinea yang ditebalkan.